JAKARTA - Harga minyak dunia kembali menunjukkan pelemahan pada perdagangan Rabu, 15 Oktober 2025. Kondisi ini terjadi seiring meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang kembali mengancam stabilitas ekonomi global.
Laporan terkini menunjukkan, pasar energi global merespons tekanan dari dua kekuatan ekonomi terbesar dunia yang saling berbalas kebijakan dagang. Di sisi lain, peringatan International Energy Agency (IEA) tentang potensi surplus pasokan minyak global menambah beban terhadap harga minyak mentah.
Dalam perdagangan terakhir, harga Brent Crude turun 0,8% ke level USD 61,91 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) merosot 0,7% ke USD 58,27 per barel. Pergerakan harga ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap permintaan minyak di tengah gejolak ekonomi dunia.
Bank of America menilai, jika ketegangan dagang terus berlanjut, harga minyak berpotensi jatuh lebih dalam. Menurut proyeksi mereka, harga bisa turun hingga di bawah USD 50 per barel jika perang dagang meningkat di tengah kenaikan produksi OPEC.
Perang Dagang Picu Ketidakpastian Pasar Energi Global
Dalam sepekan terakhir, ketegangan antara AS dan China kembali meningkat setelah kedua negara saling memberlakukan biaya tambahan di pelabuhan terhadap kapal pengangkut barang. Langkah saling balas ini dinilai bisa mengganggu rantai pasok global dan memperlambat arus perdagangan internasional.
China juga memperketat kontrol ekspor logam tanah jarang (rare earths) yang selama ini menjadi bahan baku penting bagi industri teknologi dan energi. Sebagai respons, Amerika Serikat mengancam akan menaikkan tarif tambahan terhadap produk asal China.
Selain itu, pemerintah AS juga berencana memperketat pembatasan ekspor perangkat lunak mulai 1 November 2025. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk tekanan ekonomi terhadap China yang tengah berupaya memperluas dominasi di sektor teknologi.
Meski begitu, Menteri Keuangan Amerika Serikat, Scott Bessent, menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat memperburuk konflik dagang. Ia menyebut, Presiden Donald Trump siap melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan untuk menurunkan ketegangan.
Namun, pelaku pasar menilai ketidakpastian hubungan dagang kedua negara masih tinggi. Kondisi ini membuat investor cenderung menahan diri dari aktivitas perdagangan besar di sektor energi dan komoditas.
Kebijakan The Fed dan Data Ekonomi AS Jadi Sorotan
Ketegangan dagang yang berlarut-larut menimbulkan kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global. Gubernur The Fed, Stephen Miran, menilai situasi tersebut memberikan risiko besar terhadap stabilitas ekonomi Amerika Serikat dan berpotensi melemahkan permintaan energi.
Miran menekankan, langkah pemangkasan suku bunga acuan mungkin diperlukan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Ia menilai kebijakan moneter yang lebih longgar dapat membantu mendukung sektor industri dan permintaan minyak di pasar global.
Sementara itu, data terbaru dari Chicago Fed menunjukkan penjualan ritel di AS meningkat pada bulan lalu. Namun, sebagian kenaikan tersebut disebabkan oleh tingginya harga barang konsumsi, bukan karena peningkatan daya beli yang kuat.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa inflasi masih menjadi tantangan bagi ekonomi Amerika Serikat. Meski permintaan ritel meningkat, tekanan biaya produksi dan logistik masih membayangi kinerja sektor energi.
Bagi pasar minyak, sinyal pelonggaran moneter dari The Fed sering kali menjadi kabar baik karena dapat meningkatkan permintaan energi. Namun, efek positifnya kali ini teredam oleh kekhawatiran surplus pasokan dan eskalasi perang dagang.
IEA Peringatkan Surplus Pasokan, OPEC Terus Naikkan Produksi
Lembaga International Energy Agency (IEA) mengeluarkan peringatan baru terkait prospek pasokan minyak dunia. Dalam laporannya, IEA memperkirakan pasar minyak global bisa mengalami surplus hingga empat juta barel per hari tahun depan, lebih tinggi dari estimasi sebelumnya.
Kelebihan pasokan tersebut sebagian besar disebabkan oleh kenaikan produksi dari negara-negara anggota OPEC yang terus menambah volume ekspor untuk mempertahankan pangsa pasar. Kondisi ini membuat harga minyak mentah dunia berpotensi tetap berada di level rendah untuk jangka menengah.
IEA juga menyoroti melemahnya permintaan minyak akibat perlambatan ekonomi global dan berkurangnya aktivitas industri berat di China. Negara tersebut selama ini menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Kombinasi antara penurunan permintaan dan peningkatan pasokan membuat pasar minyak berada dalam tekanan berat. Situasi ini memperkuat kekhawatiran investor terhadap prospek jangka panjang harga energi fosil.
Di sisi lain, sejumlah negara mulai mempercepat transisi ke energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak mentah. Langkah ini diperkirakan akan semakin menekan permintaan minyak global di masa depan.
Minyak Dunia di Persimpangan Jalan, Ketidakpastian Masih Membayangi
Analis menilai, fluktuasi harga minyak yang terjadi saat ini adalah cerminan dari ketegangan geopolitik dan perubahan struktural pasar energi dunia. Dengan perang dagang yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, volatilitas harga minyak kemungkinan akan terus berlanjut.
Pelemahan harga minyak juga dipengaruhi oleh penguatan dolar AS dan meningkatnya produksi minyak serpih (shale oil) di Amerika Utara. Keduanya membuat pasokan global semakin berlimpah di tengah melemahnya permintaan.
Meski demikian, beberapa pengamat percaya bahwa harga minyak bisa kembali stabil jika AS dan China mencapai kesepakatan dagang baru. Pertemuan antara Trump dan Xi Jinping di Korea Selatan diharapkan menjadi momentum penting untuk meredakan ketegangan dan mengembalikan kepercayaan pasar.
Namun hingga saat ini, pelaku pasar masih berhati-hati dalam memprediksi arah pergerakan harga minyak dunia. Banyak yang memilih menunggu sinyal kebijakan lanjutan dari OPEC dan The Fed untuk melihat potensi pemulihan harga.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, harga minyak dunia tampaknya akan terus bergerak fluktuatif dalam waktu dekat. Pasar energi global kini berada di persimpangan antara tekanan geopolitik dan harapan akan stabilitas ekonomi baru.
Prediksi Jangka Menengah: Antara Surplus dan Permintaan Lemah
Jika tren surplus terus berlanjut, harga minyak berpotensi tetap rendah hingga paruh pertama tahun 2026. Peningkatan pasokan dari OPEC, disertai perlambatan ekonomi global, bisa membuat pasar mengalami kelebihan produksi dalam skala besar.
Beberapa analis memperkirakan, harga Brent Crude dapat turun ke kisaran USD 55 per barel, sementara WTI berpotensi menembus di bawah USD 50. Kondisi ini akan menekan pendapatan negara-negara produsen minyak dan memperlambat investasi di sektor energi.
Namun di sisi lain, harga minyak yang rendah bisa menjadi keuntungan bagi negara importir karena menurunkan biaya logistik dan produksi industri. Efek ini dapat membantu menahan laju inflasi global di tengah tekanan ekonomi yang meningkat.
Ke depan, pasar akan memantau dengan cermat kebijakan moneter The Fed, dinamika hubungan dagang AS–China, serta langkah OPEC dalam mengendalikan produksi. Semua faktor tersebut akan menjadi penentu arah harga minyak dunia dalam beberapa bulan mendatang.
Dengan situasi yang masih rentan ini, stabilitas harga minyak dunia tampaknya akan tetap menjadi isu utama dalam perekonomian global sepanjang akhir 2025 hingga 2026. Dunia kini menunggu, apakah ketegangan geopolitik akan mereda atau justru membawa energi dunia ke babak baru ketidakpastian.