JAKARTA - Beberapa hari terakhir, warga Jakarta dan sekitarnya merasakan suhu udara yang jauh lebih panas dari biasanya. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, terutama karena cuaca terik terasa menyengat bahkan sejak pagi hingga sore hari.
Fenomena panas ekstrem ini dijelaskan oleh Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, yang menegaskan bahwa peningkatan suhu di wilayah Jakarta bukanlah hal yang terjadi tanpa sebab. Ada beberapa faktor alam yang memengaruhi lonjakan suhu kali ini, termasuk posisi matahari, kondisi atmosfer, serta masa peralihan musim.
Pergeseran Matahari dan Minimnya Awan Jadi Pemicu Panas Ekstrem
Menurut penjelasan BMKG, salah satu penyebab utama meningkatnya suhu panas adalah pergeseran semu matahari ke arah selatan Indonesia. Pergeseran ini menyebabkan intensitas radiasi matahari meningkat di wilayah Indonesia bagian selatan, termasuk Jakarta dan sekitarnya.
Selain itu, minimnya tutupan awan dalam beberapa hari terakhir membuat sinar matahari langsung menyentuh permukaan bumi tanpa banyak hambatan. Kondisi ini menjadikan panas terasa lebih menyengat, terutama di wilayah perkotaan dengan tingkat polusi dan kepadatan bangunan yang tinggi.
Guswanto menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sedang berada dalam masa pancaroba, yaitu peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Masa ini umumnya ditandai oleh suhu udara yang tinggi, kelembapan yang bervariasi, dan cuaca yang berubah-ubah secara cepat.
Pada Selasa, 14 Oktober 2025, Guswanto menuturkan bahwa fenomena panas ekstrem ini merupakan hal yang wajar dalam siklus iklim tahunan Indonesia. Namun, dampaknya terasa lebih intens karena tingkat kelembapan yang rendah serta kondisi atmosfer yang kering dalam beberapa waktu terakhir.
BMKG Prediksi Cuaca Panas Mereda Akhir Oktober 2025
BMKG memprediksi bahwa cuaca panas ekstrem akan mulai menurun pada akhir Oktober hingga awal November 2025. Hal ini seiring dengan mulai masuknya musim hujan di sejumlah wilayah Indonesia bagian barat, termasuk Jabodetabek.
Dengan datangnya hujan, tutupan awan akan meningkat sehingga sinar matahari tidak lagi langsung memanaskan permukaan bumi secara intens. Selain itu, peningkatan kelembapan udara juga akan membantu menurunkan suhu lingkungan dan mengurangi rasa gerah yang saat ini banyak dirasakan masyarakat.
Menurut Guswanto, pola cuaca saat ini masih dalam tahap transisi, sehingga masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap kondisi ekstrem lain seperti hujan disertai angin kencang, petir, atau suhu yang berubah drastis dalam waktu singkat.
Ia menegaskan bahwa fenomena panas ini bukan akibat pemanasan global secara langsung, melainkan akibat dinamika atmosfer dan posisi matahari yang sedang berada di wilayah selatan khatulistiwa. Meski demikian, perubahan iklim secara global tetap berkontribusi pada meningkatnya intensitas suhu ekstrem dari tahun ke tahun.
Daftar Wilayah dengan Suhu Panas Tertinggi di Indonesia
BMKG mencatat sejumlah daerah di Indonesia mengalami suhu udara tinggi dalam beberapa hari terakhir. Wilayah Jakarta menjadi salah satu yang terpanas, dengan suhu mencapai 35°C.
Kemudian di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, suhu udara bahkan mencapai 36°C, menjadikannya salah satu wilayah dengan tingkat panas tertinggi pada pertengahan Oktober tahun ini. Sementara itu, Semarang, Grobogan, dan Sragen di Jawa Tengah juga mengalami suhu berkisar antara 34–35°C.
Tak hanya di Pulau Jawa, daerah Bali dan Nusa Tenggara turut mencatat suhu udara tinggi hingga 35°C. Kondisi ini menunjukkan bahwa fenomena panas ekstrem tidak hanya dirasakan di Jakarta, tetapi juga melanda sejumlah provinsi lain di Indonesia bagian selatan.
Fenomena serupa biasanya akan berulang setiap tahun menjelang pergantian musim, terutama pada periode Oktober hingga November. BMKG mengingatkan bahwa fenomena ini merupakan bagian dari siklus iklim tropis yang normal, meski tetap perlu diwaspadai karena dapat berdampak pada kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Imbauan BMKG untuk Hadapi Cuaca Panas Ekstrem
Untuk menghadapi kondisi panas ekstrem ini, BMKG mengeluarkan beberapa imbauan penting kepada masyarakat. Salah satunya adalah menghindari paparan langsung sinar matahari antara pukul 10.00 hingga 16.00 WIB, karena pada rentang waktu tersebut intensitas radiasi matahari mencapai titik tertinggi.
Masyarakat juga disarankan menggunakan pelindung diri seperti topi, payung, atau tabir surya (sunscreen) saat beraktivitas di luar ruangan. Langkah sederhana ini dapat membantu mencegah sengatan panas (heatstroke) atau kulit terbakar (sunburn) akibat paparan sinar ultraviolet berlebih.
Selain itu, memperbanyak konsumsi air putih menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah dehidrasi. BMKG juga menyarankan agar masyarakat mengurangi aktivitas fisik berat di luar ruangan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan ibu hamil.
Dalam kondisi suhu tinggi, tubuh kehilangan cairan lebih cepat, sehingga menjaga hidrasi menjadi langkah utama untuk mempertahankan daya tahan tubuh. BMKG mengingatkan agar masyarakat selalu memperhatikan tanda-tanda kelelahan akibat panas seperti pusing, lemas, atau detak jantung meningkat.
Cuaca Panas dan Tantangan Lingkungan di Perkotaan
Fenomena panas ekstrem di Jakarta dan kota besar lainnya juga memperlihatkan tantangan besar bagi tata kelola lingkungan perkotaan. Permukaan jalan beraspal, bangunan beton, dan minimnya area hijau membuat panas lebih mudah terperangkap, menciptakan efek yang dikenal sebagai “urban heat island.”
Kondisi ini memperparah sensasi panas di wilayah padat penduduk seperti Jakarta, Bekasi, atau Tangerang, terutama pada siang hari. Oleh karena itu, para ahli meteorologi menekankan pentingnya ruang terbuka hijau (RTH) sebagai salah satu solusi alami untuk menurunkan suhu udara perkotaan.
BMKG juga menilai bahwa kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan efisiensi energi perlu ditingkatkan. Penggunaan kendaraan bermotor yang berlebihan serta pembangunan yang tidak ramah lingkungan turut memperparah suhu udara di wilayah perkotaan.
Dengan adanya fenomena panas ekstrem ini, pemerintah daerah diharapkan dapat mengantisipasi dampak lingkungan dan kesehatan, terutama bagi warga yang bekerja di luar ruangan dan tidak memiliki akses pendinginan yang memadai.
Menanti Turunnya Hujan Sebagai Pertanda Perubahan Musim
Sebagai penutup, BMKG mengingatkan bahwa fenomena panas ekstrem saat ini bersifat sementara. Berdasarkan proyeksi cuaca, akhir Oktober hingga awal November 2025 akan menjadi periode penting yang menandai datangnya musim hujan.
Saat tutupan awan meningkat dan curah hujan mulai turun, suhu udara akan berangsur menurun ke kondisi normal. Meskipun demikian, masyarakat tetap diminta waspada terhadap potensi cuaca ekstrem lain yang mungkin muncul selama masa peralihan musim.
Panas yang dirasakan belakangan ini menjadi pengingat bahwa iklim tropis Indonesia selalu dinamis dan bisa berubah dengan cepat. Dengan memahami penyebab dan pola alamnya, masyarakat dapat lebih siap menghadapi perubahan cuaca tanpa panik, serta menjaga kesehatan dan lingkungan di tengah kondisi ekstrem yang terjadi.